Artikel kali ini
berkisah tentang ungkapan populer antara minyak wangi dan pandai besi. Tulisan ini
sebenarnya dilatarbelakangi dengan beberapa perdebatan yang dijumpai di media
sosial soal calon pemimpin Indonesia tahun mendatang (intinya berbau pemilu...).
Seorang warganet bilang bahwa kedua kandidat itu pada dasarnya orang baik. Sementara
yang lain justru sibuk membalas dengan berbagai argumen soal rekam jejak
masing-masing partai pengusung. Dari sekian banyak komentar bertebaran, yang
menarik bagi saya adalah argumen orang yang bilang, “Oke sih baik, tapi sayang di
bawah bendera partai A sih, jangan-jangan dia nanti bakal dipermainkan
bla..bla..bla”. Membaca komen itu, pikiran saya langsung tertuju nasehat dari
penjual minyak wangi dan pande besi.
Pemilu 2019 dan Cerita si Penjual Minyak Wangi |
Pernah mendengar
kisah penjual minyak wangi dan pandai besi? Apakah cerita si tukang pandai besi
dan penjual minyak wangi dijumpai pula di kehidupan saat ini? Rasulullah SAW
bersabda, “Permisalan teman yang baik dan buruk ibarat seorang penjual minyak
wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi
atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap
mendapatkan harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya)
mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya
yang tak sedap.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits diatas
mengajarkan kita memilih teman atau sahabat sejati. Iya, dengan siapa kita
berinteraksi sehari-harinya akan membentuk karakter diri. Termasuk juga
lingkungan atau sistem dimana kita berada. Seorang yang berkelakuan baik sedari
kecil mungkin saja dipandang buruk mana kala dia tinggal di lingkungan
penjambret. Atau bahkan, orang itu bisa saja berubah menjadi ‘buruk’ pula,
karena mulai terpengaruh dan mulai terbiasa mengambil barang milik orang lain. Orang
tau misalnya, akan menyekolahkan anaknya di sekolah bonafit. Karena selain
sistem pembelajaran yang oke, lingkungannya pun terjamin. Sehingga lulusan dari
sekolah tersebut dipercaya menjadi pribadi yang unggul, dari segi keilmuan
maupun karakternya.
Saya teringat dengan
ucapan seorang teman. Saat itu saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan
tinggi di Surabaya. Salah seorang teman bertanya, “Kamu akan jadi apa disana, kan tahu sendiri bagaimana hedonisme dan
perbuatan maksiat orang perkotaan”. Sementara teman lain juga menguatkan
bahwa lingkungan perkotaan terlalu bebas sehingga berujung pada kerusakan moral
dan sebagainya.
Mendengar pertanyaan
sekaligus perkataan teman-teman, dalam hati saya bertanya benarkah seburuk itu
yang akan terjadi kepada saya jika berada di Kota Surabaya. Selama kurang lebih
empat tahun (masa SMA) saya berada di lingkungan orang-orang baik. Kehidupan sehari-hari
kami memang diisi dengan kegiatan positif, seperti beribadah, sekolah, ikut
pelatihan, organisasi, dan belajar ilmu agama. Kami diajarkan untuk berperilaku
baik dan sopan, berbicara dengan nada lembut, tidak membicarakan orang lain
alias gosip¸ atau bahkan lancang
tangan. Meski demikian, ada juga beberapa anak yang tertangkap basah mencuri
barang milik temannya sendiri ternyata.
Singkat cerita saya
tetap memutuskan kuliah di Surabaya. Alasan utamanya karena memang ingin
berkumpul kembali dengan keluarga di Surabaya. Saya belajar di salah satu
kampus negeri di Surabaya. Sepanjang tinggal di Surabaya dan bergaul dengan
berbagai orang dari latar belakang berbeda, saya memang mendapatkan banyak
pelajaran. Termasuk pelajaran sebagaimana yang pernah diucapkan teman saya
ketika di Aliyah (SMA).
Lingkungan di
perkotaan ternyata jauh lebih kompleks dan dinamis. Artinya bahwa kita bisa
melihat berbagai macam jenis kelompok manusia. Ada kumpulan orang borju yang kesehariannya selalu
berfoya-foya, ngemall, nonton. Ada juga
geng yang sukanya membahas hal-hal berbau ilmiah, atau kelompok kreatif yang
setiap kumpul pasti bahas tentang projek unik.
Saya melihat
sebagian orang mulai berubah. Mulai dari cara berpakaian yang sebelumnya
menutup aurat, namun setelah kuliah di Surabaya, tiba-tiba melepas hijab dan
berpakaian terbuka bahkan sedikit ketat. Ada juga yang berkelakukan bak orang tajir melintir mengikuti gaya kelompok,
padahal kehidupan sebenarnya jauh dari kata mampu. Namun jangan salah, saya
juga menjumpai beberapa teman yang meskipun mengalami perubahan secara
finansial dan berteman dengan deretan orang gaul,
namun perilakunya tetap sama seperti tak ada perubahan antara dia yang dulu
dengan sekarang.
Bagi saya, Kota
Surabaya menyajikan potret lingkungan masyarakat yang beragam. Jadi tidak
terpatok hanya dengan satu argumen yang cenderung negatif. Saya pun sepakat
bahwa teman dan lingkungan punya andil dalam membentuk kepribadian kita. Kedua faktor
dalam jangka panjang akan menceritakan siapa diri kita, apakah orang baik atau
buruk, pintar atau tidak dan sebagainya. Ketika kita merasa orang baik, namu
berada dalam sebuah sistem yang dihuni oleh orang-orang buruk atau sistem yang ‘amburadul’, maka pilihannya ada 2. Pertama,
melebur jadi satu dengan anggota lain yang ada dalam sistem tersebut. Pilihan kedua
adalah tetap bertahan sekuat tenaga, dan berkeyakinan bahwa kita bisa merubah
sistem yang buruk menjadi lebih baik.
Poin kedua ini tentu
tidaklah semudah dengan yang diucapkan. Ibarat kata, satu orang akan melawan
gerombolan sepuluh bahkan seratus orang. Dibutuhkan tameng alias pelindung yang begitu kuat sehingga dia tidak mudah
untuk terbawa arus atau bahkan dikendalikan. Jika dirasa tidak mampu,
konsekunsinya akan ikut melebur atau kita bisa menolak dengan cara memilih
untuk keluar dari sistem itu.
Rumus ini sebenarnya
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam skala kecil atau konteks
berbangsa dan negara. Seorang mahasiswa bisa saja keluar dari organisasi kampus
karena adanya perbedaan prinsip. Contoh lain, banyaknya karyawan yang mengundurkan
diri dari sebuah perusahaan, dimana salah satu faktor penyebabkan adalah karena
lingkungan kerja yang terlalu kompetitif dan kurang bersahabat. Wallahu ‘alam
Komentar
Posting Komentar