Langsung ke konten utama

Benarkah Sifat Zuhud Hanya Milik si Miskin?



Tulisan kali ini, saya ingin bercerita tentang tulisan salah seorang remaja laki-lak yang berhasil termuat di kolom opini kompas. Seperti yang kita ketahui bersama, kompas adalah konglomerat media di Indonesia. Begitu halnya kolom opini kompas yang sangat kredibel. Bukan saja kualitas kontennya, namun juga sang penulis yang punya gelar pendidikan tinggi. Atau mereka yang memiliki jabatan atau peran penting di lingkungan sosialnya. Itulah mengapa, sekali tulisan kita bisa tembus kolom opini kompas, kita bakal dapat rezeki mendadak yang nilainya jutaan rupiah.

Lantas topik apa yang ditulis oleh sang remaja yang juga berstatus santri tadi? Rupanya dia berusaha menjabarkan gejolak hati yang dialaminya. Santri laki-laki itu merasakan ketimpangan antara informasi dan pemahaman yang diperolehnya dari bangku sekolah dan lingkungan pesantren dengan realitas yang dilihatnya kala itu.

Ceritanya, di pesantren tempat dia menimba ilmu, sedang diadakan sebuah acara yang mengundang para pimpinan atau kyai dari seluruh pesantren di Provinsi Jawa Timur. Dari sekian jumlah tamu yang hadir, kebanyakan dari mereka turun dari mobil dengan merk-merk prestisius yang nilainya milyaran rupiah. Sontak, dia merasa bahwa kehidupan orang-orang itu begitu mewahnya, karena mobil yang ditumpanginya bukan pasaran.

Seperti halnya yang dialami oleh si santri, saya juga pernah merasakan gejolak sama di kala usia masih belasan tahun. saat itu, seringkali saya mendapat nasehat bahwa sebagai orang Islam, kita harus hidup sederhana. Kita tidak perlu terlalu mendekati dunia, bahkan harus jauh dari urusan dunia. Apalagi saya juga tinggal di lingkungan keluarga yang jauh lebih bangga ketika hanya mendalami ilmu-ilmu agama dan mengabaikan pendidikan formal. Sebagian dari mereka bahkan terang-terangan mengatakan jika sekolah itu tidak penting, karena di akhirat nanti tidak butuh pelajaran yang diajarkan di sekolah.

Saat itu saya hanya menerima nasehat tanpa sedikit pun melakukan perlawanan atau sekedar diskusi. Namun seiring berjalannya waktu, saya merasa nasehat itu tidak sepenuhnya benar. Seruan hidup ‘sederhana’ dalam Islam bukan berati kita tidak sama sekali menyentuh urusan dunia. Karena jika itu dibenarkan, maka akan bertentangan dengan dalil-dalil yang sudah Allah SWT tetapkan di dalam Al Quran.

Salah satu firman Allah dalam Surah Al Jumah menyebutkan bahwa ketika tiba waktu shalat, maka kita diwajibkan untuk meninggalkan sejenak urusan dunia, dan ketika usai sholat, maka kita diserukan kembali untuk ‘bertebaran’ (mencari rezeki yang baik) dan beriman. Di dalam surah lain Allah juga berfirman yang artinya:
“Allah akan mengangkat derajat seseseorang, manakala mereka beriman dan mereka mencari ilmu”
Allah pun memberikan jaminan dunia dan akhirat bagi hambanya yang bertakwa. Janji Allah, dunia akan tunduk manakala dia bertakwa dan tawakkal sepenuhnya kepada Allah.

Nabi Muhammad SAW juga menegaskan menyangkut soal semangat mencari rezeki. Salah satu hadits Rasulullah berbunyi:
Man aradan dunya faalaihi bil ilmi, wa man aradal akhirah faalaihi bil ilmi, waman arada huma faalaihuma bil ilmi yang artinya barangsiapa menginginkan dunia maka harus dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan akhirat maka harus dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu.
Dalam riwayat lain, nabi Muhammad juga menegaskan ‘bekerjalah kamu seakan-akan kamu hidup selamanya di dunia, dan beribadalah kamu seakan-akan kamu mati besok’

Dari beberapa dalil diatas, dapat ditarik benang merah bahwasannya Allah SWT memberikan kelaluasaan bagi manusia agar beribadah sekaligus mencari rezeki. Itu artinya, sebagai manusia biasa, maka sudah pasti berkeinginan memperoleh nikmat dunia. Entah itu rezeki melimpah, kedudukan penting, keluarga sakinan, kecerdasan akal, kesehatan dan sebagainya. Manusia boleh saja bercita-cita menguasai dunia, namun dengan syarat ‘Berilmu’ dan ‘Bertakwa’ kepada Allah SWT. Itulah kenapa kita dianjurkan untuk fokus dan seimbang membagi urusan dunia dan akhirat. 

Sejarah peradaban Islam juga menunjukkan bahwa Rasulullah sendiri merupakan pribadi yang sukses dunia dan akhirat. Nabi Muhammad seorang pebisnis sukses dengan kekayaan melimpah dan berhasil mendapat gelar penghormatan tertinggi ‘Al Amin’ (dapat dipercaya) di kalangan suku Quraisy pada masa itu. Begitu halnya dengan sahabat Rasul, seperti Abu Bakar, Umar dan Abdurrahman Bin Auf. Sahabat nabi yang terakhir ini terkenal sebagai saudagar kaya raya yang gemar mendermakan seluru kekayaannya untuk tujuan jihad, membiayai peperangan pada masa itu. Saat ini pun kita bisa jumpai berapa banyak kisah orang sukses di berbagai dunia dengan harta melimpah dan memiliki kualitas spiritual tinggi. Betapa kualitas keshalehan (ibadah & sosial) mereka berbanding lurus dengan kekayaannya. Mereka juga orang-orang intelek alias orang pintar.

Yang menjadi pertanyaan bagi saya kemudian adalah kenapa sih kita harus kaya? Iya, sebagai umat Islam, kita memang diwajibkan harus kaya. Baik kaya materi, intelektual, karya dan sebagainya. Pertama, jika kita punya rezeki melimpah, maka kita pun punya kesempatan berbuat baik jauh lebih besar. Kita punya kesempatan jihad lebih banyak, tanpa perlu merasa ragu atau takut sedikitpun dengan harta kita. Karena bagi meraka ‘kekayaan itu hanya ada di genggaman saja, bukan di hati’. Sehingga jika sewaktu-waktu lepas, tak sedikit pun akan membuat iman kita goyah.
Seorang guru misalnya, dia tidak lagi risau manakala gaji yang didapatkannya dari hasil mengajar terlalu kecil. Dia bahkan suka menyumbangkan biaya pendidikan untuk siswa tidak mampu. Atau juga sebuah parpol yang ingin berjuang mengambil peran strategis sebagai leader. Maka mau gak mau, mereka harus punya banyak sumber. Entah berupa materi, kader berkualitas, jaringan dan sebagainya.
Kesimpulannya, “Rendah hati itu WAJIB, tapi rendah diri naudzubillah”. Sudah jadi sunnatullah bahwa manusia berkeinginan punya rezeki melimpah. Itu juga salah satu doa yang senantiasa kita panjatkan usai sholat, kita minta kepada Allah rezeki ilmu bermanfaat, anak sholeh, harta barokah dan melimpah. Yang terpenting adalah bagaimana semua aktivitas atau pekerjaan dunia bisa bernilai akhirat alias punya nilai spiritual, jangan malah sebaliknya, ritual keagamaan yang selama ini kita jalankan hanyalah kegiatan fisik semata, namun tidak bernilai akhirat sedikit pun alias kehilangan esensi dari ibadah itu sendiri. ash
*Kontemplasi pemikiran pribadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah sang Dokter Cantik Hafalan Al Quran lewat Story Telling

Al Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diwahyukan Allah melalui Nabi Muhammad SAW untuk umat muslim. Di dalamnya terdapat sumber ilmu pengetahuan sebagai pedoman hidup manusia, baik di dunia maupun akhirat. Bagi umat muslim, mempelajari Al Qur’an tidaklah sulit. Allah telah memberikan jaminan kemudahan bagi siapa saja yang ingin membaca, menghafal, memahami serta mengamalkannya. Kemudahan mempelajari Al Qur’an itu juga dirasakan salah satunya oleh dr. Syayma. dia mulai menghafalkan Al Qur’an ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.“Awalnya saya terpaksa menghafalkan Al Qur’an. Karena di pesantren memang ada kurikulum tahfidz, jadi mau gak mau harus hafalan ”,  kata Syayma.  Dirinya sempat merasakan sedikit stres belajar di pesantren lantaran belum fasih membaca Al Qur’an. Dari total 300 santri, dr. Syayma masuk dalam kelompok 10 orang dengan bacaan terburuk. ”saya memulainya dari level paling dasar”. Baginya surah yang sulit dihafal di awal dulu adalah surah An naba’

Bambu Runcing, Senjata Tradisional namun Berkekuatan Supranatural

Beberapa waktu lalu media sosial di Indonesia menyoroti aksi sebagian warga Jakarta yang memasang bendera peserta Asean menggunakan bambu. Keberadaan bendera yang terpasang di Jalan Pluit Selatan Raya, Jakarta Utara itu pun mendapat kritikan dari sebagian netizen karena dianggap mempengaruhi citra Negara Indonesia bagi bangsa lain. Terlepas dari perdebatan yang dilontarkan oleh netizen di medsos, lupakah kita banwa bambu runcing merupakan ikon yang tak terpisahkan bagi bangsa Indonesia. Di beberapa negara, tanaman yang memiliki nama latin bambusea ini mengandung nilai filosofis. Bangsa Tiongkok misalnya, yang menjadikan bambu sebagai simbol keteguhan dan ketulusan. Sementara di India, bambu mengandung pesan persahabatan. Di kebudayaan suku Jawa, bambu atau dikenal dengan sebutan pring merupakan bagian dari pedoman hidup yang di dalamnya menggambarkan karakteristik masyarakat Jawa. Dilansir dari portal Tempo, (2/8), dalam falsafah bambu atau dinamakan ngelmu pring , masin

Terkesima dengan Gerombolan Lebah Diatas Pohon Mangrove

Jumat lalu, seperti biasa saya mengantarkan makan siang untuk bapak tukang di daerah Medokan Ayu Tambak, Rungkut, Surabaya. Jika dilihat dari peta, ternyata lokasinya tidak jauh dari perairan. Ada selat Madura, dan lebih jauh sedikit ada laut Jawa. Di tempat yang saya kunjungi ini masih sangat jarang dijumpai bangunan, apalagi rumah penduduk. Hanya deretan pohon mangrove dan semakbelukar yang tumbuh subur . Cuaca hari itu begitu panas. Sambil menunggu ibu yang sedang mengobrol bersama para tukang, saya memilih berteduh di bawah salah satu pohon mangrove. Ah, udaranya terasa begitu sejuk dengan hembusan angin siang yang sepoi-sepoi.   Dibalik rerimbunan pohon mangrove yang kini mulai mengering itu, saya melihat gerombolan lebah beterbangan kesana kemari. Mereka berpindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Sesekali saya menghindar, sambil sedikit menjerit, hahahah takut tiba-tiba disengat.  Tapi untuk masalah ini, lebah tentu tak perlu khawatir kalau tiba-tiba kulitnya menghit